100 Hari Pertama Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat
Antara Gebrakan, Kontroversi, dan Julukan
NASIONAL


Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi resmi memulai masa jabatannya pada 20 Februari 2025, dan dalam 100 hari pertamanya, ia telah menorehkan sejumlah program yang memicu perdebatan sekaligus apresiasi. Dari prioritas infrastruktur hingga kebijakan pendidikan kontroversial, berikut analisis mendalam tentang kinerja Dedi Mulyadi selama periode ini.
1. Empat Prioritas Utama: Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, dan Disiplin
Dalam visi 100 hari kerjanya, Dedi Mulyadi menekankan empat fokus utama:
Pendidikan: Menjamin akses minimal SMA bagi seluruh pelajar Jawa Barat dan memperkenalkan program pendidikan karakter di barak militer untuk siswa bermasalah. Program ini melibatkan pelatihan disiplin selama 14 hari di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Lembang, yang menyasar pelajar dengan kasus tawuran, kecanduan gim, hingga balapan liar.
Kesehatan: Meningkatkan layanan kesehatan dari tingkat puskesmas hingga rumah sakit, termasuk pemerataan kualitas layanan untuk mengurangi antrean panjang di RS Hasan Sadikin.
Infrastruktur: Fokus pada perbaikan jalan rusak dan klasifikasi jalan berdasarkan fungsi (pertanian, industri) dengan standar kapasitas kendaraan. Dedi menegaskan, "Tidak boleh lagi ada jalan bolong di Jabar".
Disiplin Sosial: Memperluas program barak militer untuk orang dewasa, termasuk ASN malas, pemabuk, dan suami yang tidak menafkahi keluarga.
2. Polemik Program Barak Militer: Pro-Kontra dan Tantangan HAM
Program pendidikan karakter di barak militer menjadi sorotan nasional. Meski dianggap efektif oleh Dedi dalam membentuk disiplin pelajar, kebijakan ini menuai kritik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas HAM. Kedua lembaga menilai pendekatan militeristik berpotensi melanggar hak anak.
Dedi membalas kritik dengan argumen bahwa program ini justru melindungi HAM orang tua dan masyarakat yang menjadi korban kenakalan remaja. "Jika dibiarkan, pelanggaran HAM berikutnya akan terjadi," tegasnya. Ia juga mengundang pihak pengkritik untuk melihat langsung proses pelatihan di barak militer.
3. Gaya Kepemimpinan: "Gubernur Konten" yang Blak-Blakan
Dedi Mulyadi dikenal dengan gaya komunikasi yang blak-blakan dan aktif di media sosial. Julukan "Gubernur Konten" melekat padanya setelah Gubernur Kaltim Rudy Masud memuji kemampuannya menciptakan konten informatif. Dedi mengaku senang dengan sebutan ini, terlebih karena pendapatan dari konten YouTube-nya ia salurkan langsung ke masyarakat.
Tak hanya itu, ia juga dijuluki "One Man Show" oleh anggota DPRD Jabar karena dianggap dominan dalam pengambilan keputusan tanpa melibatkan legislatif secara memadai. Julukan lain seperti "Gubernur Lambe Turah" (karena gaya komunikasi sensasional) dan "Mulyono Jilid II" (gaya blusukan ala Jokowi) turut mewarnai dinamika politiknya.
4. Respons Publik: Antara Dukungan dan Kritik
Masyarakat terbelah. Di satu sisi, kebijakan seperti perbaikan jalan dan transparansi penggunaan dana konten mendapat apresiasi. Di sisi lain, program barak militer dinilai terlalu keras. Di media sosial, tagar #DediMulyadi kerap diisi dengan komentar seperti:
"Maju terus, KDM! Pemimpin seperti ini yang dibutuhkan!"
"Program militer untuk anak-anak? Ini bukan solusi edukatif!"
Dedi sendiri menanggapi kritik dengan santai: "Biarkan yang nyinyir. Jawa Barat akan terus maju".
5. Tantangan ke Depan: Konsistensi dan Kolaborasi
Meski beberapa program sudah menunjukkan hasil awal—seperti penurunan euforia ngabuburit berlebihan selama Ramadan 2025 —tantangan terbesar Dedi adalah menjaga konsistensi dan membangun kolaborasi dengan legislatif. Anggota DPRD dari Fraksi PKS dan PDIP mengkritik kurangnya koordinasi dalam penyusunan kebijakan.
Selain itu, program infrastruktur dan kesehatan masih perlu pembuktian lebih lanjut. Apakah jalan-jalan di Jabar benar-benar akan terbebas dari lubang? Bisakah layanan kesehatan merata hingga ke daerah terpencil? Pertanyaan ini menjadi PR besar untuk 5 tahun ke depan.
Kesimpulan: Pemimpin yang Tak Takut Berbeda
Dedi Mulyadi tampaknya tak ingin menjadi gubernur yang "biasa-biasa saja". Dengan gebrakan kontroversial dan gaya kepemimpinan yang viral, ia berhasil menarik perhatian nasional. Namun, keberhasilan jangka panjangnya akan ditentukan oleh kemampuan menyeimbangkan inovasi dengan prinsip partisipasi publik dan keberpihakan pada hak asasi manusia.